Jakarta - Seperti halnya TNI AU, TNI Angkatan Laut pernah merasakan satu dasawarsa memilki alutsista yang disegani di belahan Selatan pada dekade 1960-an. Di laut TNI AL diperkuat kapal penjelajah kelas Sverdlov dan kapal selam kelas Whisky, sedangkan di udara hadir pembom torpedo Il-28T dan helikopter Mi-4 ASW serta AS.4 Gannet.
Embrio kekuatan udara TNI AL terbentuk ketika Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal diresmikan pada 4 Februari 1950. Lembaga ini kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI (Dispenerbal) pada 17 Juni 1956. Menyadari memiliki tanggung jawab untuk menjaga wilayah laut RI yang luas, Penerbal mulai berpikir memiliki kekuatan udara untuk mengawasi dan menjaganya dari gangguan kapal permukaan maupun kapal selam asing.
Pertengahan tahun 1950-an Indonesia mulai melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun sayang keinginan tersebut ditolak karena pada saat itu sedang terjadi masalah politik internal didalam negeri AS.
Gagal mendapatkan Tracker, Penerbal mengincar pesawat Gannet buatan Fairey, Inggris. Gayung bersambut, Pemerintah Inggris memberikan sinyal lampu hijau. Tahun 1957 kontrak pembelian Gannet pun ditandatangani. Dua tahun kemudian, TNI AL segera mengirimkan para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabriknya di White Waltham. Di antara yang dikirim adalah Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto. Sementara kadet TNI AL lainnya belajar menerbangkan jet latih Vampire milik RAF di Oakington. Di antaranya Lmd Cokrodirejo dan Hamami. Kelak mereka diperbantukan kepada AURI untuk menerbangkan pesawat Vampire selain melatih pilot baru.
Berbasis kapal induk
Sejatinya Gannet merupakan pesawat yang dioperasikan dari kapal induk. Dengan sayap utama yang bisa dilipat serta memiliki kail pengait di bawah ekor untuk pendaratan. Namun Indonesia tidak memperoleh varian ini karena Gannet untuk TNI AL adalah versi AS.1 & T.2 bekas pakai Royal Navy – Fleet Air Arm. Pesawat ini telah dimodifikasi dandiupgrade menjadi varian setara tipe AS.4 & T.5 menggunakan mesin yang lebih bertenaga namun sayap utama menjadi model tetap alias tidak bisa dilipat.
Dari 18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T.5 dan sisanya versi ASW (antikapal selam). Untuk tipe AS.4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam dilengkapi torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang gendut. Selain itu pesawat ini juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta rumah radar pencarian yang bisa ditarik ke dalam perut pada bagian bawah belakang pesawat. AS.4 diawaki tiga orang yaitu pilot, navigator merangkap observer yang berada dalam satu ruang, dan operator radio-radar di kokpit terpisah dengan posisi duduk menghadap kebelakang ekor pesawat.
Gannet didukung mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac) buatan Armstrong-Siddeley. Mesin ini menggerakkan baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah (contra rotating). Mesin ini memiliki kelebihan karena salah satu mesin dapat dimatikan untuk penerbangan jelajah ekonomis. Atau, jika salah satu mesin gagal bekerja maka pesawat tidak akan mengalami masalah serius dalam penerbangan. Fairey had pioneered the twin pac concept starting before World War II with the P.24 Prince double piston engine, which had been test-flown in a Fairey Battle light bombe
Langsung menuju palagan
Dua pesawat dari pengiriman pertama tiba di Surabaya pada tahun 1960 dan berangsur-angsur disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit. Pesawat bernaung di Skuadron Udara 100 antikapal selam berhome–base di Morokrembangan, Surabaya. Belum genap dua tahun berdinas AS.4 Gannet dilibatkan dalam operasi Trikora. Pesawat dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan melindungi laut sekitar Sulawesi hingga Laut Banda dengan berpangkalan di Liang, Ambon.
Selepas Trikora yang selesai dengan perundingan damai, Gannet ditarik ke sarangnya. Sayang, sebuah Gannet mengalami kecelakaan di sekitar Ambon waktu menjalani penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.
Tak sempat beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi panggilan tugas dalam operasi Dwikora antara 1964 – 1966 untuk mengawasi perairan di sepanjang perbatasan Singapura hingga Selat Karimata. Pesawat ditempatkan di Tanjung Pinang. Gannet juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia. Seperti bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi senjata buatannya sendiri. Dengan digunakananya Gannet oleh TNI AL makin membuat Inggris berang, hingga memutuskan pasokan suku cadangnya. Dalam konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW.3 yakni versiAirborne Early Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm, Squadron No.849.
Dengan pecahnya pemberontakan PKI September 1965 yang berujung dengan bergantinya kekuasaan Pemerintahan RI, konflik bersaudara dengan Malaysia berakhir damai di atas meja perundingan. Meskipun hubungan diplomatik dengan Inggris telah kembali normal, tapi suku cadang pesawat Gannet TNI AL tak mendapatkan gantinya. Lambat laun kinerja pesawat mulai menurun dan dengan terpaksa Dispenerbal akhirnya melakukan kanibalisasi agar pesawat tetap bisa operasinal.
Awal tahun 1970-an diputuskan seluruh Gannet tersisa harus beristirahat panjang. Walau dalam dua operasi militer yang dijalaninya Gannet tak pernah melepaskan senjatanya untuk melumat lawan, namun Si Gembul memasuki masa purna bakti dengan terhormat sebagai veteran perang sejati. Beberapa Gannet kini dapat dijumpai dalam bentuk monumen. Salah satunya adalah di Museum Satria Mandala, Jakarta.
Sumber : SMID Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar