Jakarta - Sebuah solusi wajib telah diperlihatkan pemerintah dengan menggelontorkan dana besar untuk mengembangkuatkan pangkalan militer Natuna. Lewat pintu APBN-P 2016 dikucurkan dana besar 1,3 Trilyun untuk memperkuat teritori Natuna yang sering disenggol bahkan ditabrak kewibawaan teritorinya. Ini solusi wajib sebab jika tidak sekarang, maka buyarlah harapan membangun benteng berkapasitas banteng. Jangan menunda-nunda lagi karena ancaman sudah nyata.
Demikian juga dengan kucuran anggaran pertahanan dalam tiga tahun masa pemerintahan Jokowi mendatang. Prediksi yang dijadikan indikator adalah ancaman itu sudah nyata, ancaman itu bukan wacana tapi sudah di depan mata. Kalau masih ada yang bilang kita tak punya musuh berarti mata pikirnya atau jernih hatinya sedang terserang katarak. Musuh militer Indonesia jelas di depan mata meski secara diplomatik kita tak punya musuh. Itu kan bahasa diplomatik.
Perairan Natuna sudah menjadi ruangan uji nyali bagi militer Indonesia. Sudah berulang kali kapal nelayan Cina dan tetangga lain memasuki peraairan ZEE Natuna. Terakhir beberapa hari lalu KRI Imam Bonjol 384 menangkap 1 dari 12 kapal nelayan Cina yang memasuki ZEE Natuna. Drama di lapangan cukup menegangkan karena kapal Coast Guard Cina yang ukurannya besar berupaya mendatangi dan menghalangi KRI yang membawa kapal nelayan Cina ke pelabuhan Natuna. Namun 4 KRI yang berada di sekitar kejadian mampu mengusir kapal penjaga pantai Cina.
Pertanyaannya kan bukan sekedar urusan dengan kapal nelayan Cina. Tetapi bukankah kita sedang menghadapi ancaman serius dari sebuah negeri yang haus akan sumber daya kelautan yang kaya untuk kebutuhan masa depan negeri semilyar orang itu. Pertanyaannya kemudian apakah kita sanggup terus menerus menghadapi tekanan invasi kapal nelayan Cina yang di back up kapal penjaga pantai berteknologi tinggi secara terus menerus. Bagaimana jika Cina menyebar kapal perang destroyer dan kapal selamnya. Apalagi Cina sudah membangun pangkalan militer di LCS dan menempatkan jet tempur, rudal, radar dan kapal perang di perairan sengketa itu.
Jawaban dari semua permasalahan itu adalah percepatan perkuatan armada angkatan laut dan angkatan udara. Harus ada upaya mempercepat pesanan untuk ketersediaan isian alutsista khususnya matra laut dan udara. Produksi kapal perang yang sedang dilakukan PT PAL saat ini berupa pembuatan 2 kapal perang jenis PKR 10514 harus bisa ditambah minimal 5 unit lagi secara paralel sehingga pada tahun 2020 kita punya tambahan 7 KRI gres. Demikian juga dengan 3 kapal selam Changbogo yang operasionalnya akan diterima awal tahun 2017, 2018, 2019 harus bisa ditambah minimal 2 lagi sehingga seluruhnya mencapai 5 unit kapal selam baru pada tahun 2020.
Beberapa KRI siaga di pangkalan perbatasan
Angkatan udara sami mawon. Setelah sign 8 Sukhoi SU35 tahun ini, diharapkan tahun depan ada lagi kontrak 16 unit jet tempur F16 Viper, kemudian tahun berikutnya lagi kontrak kedua 8 Sukhoi SU35 sehingga jumlahnya mencapai 16 unit alias 1 skuadron. Untuk urusan Natuna dan pulau-pulau terluar lainnya kita perlu banyak jet fighter sebagai unsur patroli, pencegat dan pre emptive strike. Maka persebaran jet-jet tempur merupakan salah satu jawaban untuk kehadiran yang disegani di batas teritori.
Dalam menjaga teritori yang luas ini kita tak hanya fokus pada hot spot Natuna. Masih ada Ambalat yang mengambang, Morotai yang masih terbuka, kemudian laut Arafuru dan NTT. Ada lagi Sabang, pantai barat Sumatera dan pantai selatan Jawa semuanya harus tercover pada jadwal patroli rutin. Ini semua memerlukan kapal perang striking force yang saat ini jumlahnya masih belum mencukupi. Maka penambahan kapal perang sangat dibutuhkan utamanya dari kelas fregat dan destroyer.
Aksi kapal nelayan Cina merupakan bukti bahwa negeri itu selalu merasa benar dalam soal klaim wilayah tangkapan ikan yang dikatakan sebagai wilayah tradisionalnya. Dan itulah bahasa diplomatik yang menjadi bahan tertawaan. Maka tidak bisa tidak kita harus memperkuat militer kita disana sepanjang tahun dengan menempatkan sejumlah kapal perang dan jet tempur bersama komponen tempur berteknologi canggih seperti drone, radar, intelijen dan intai strategis.
Kita berpacu dengan waktu, kita percepat semua rencana pembangunan kekuatan militer tidak hanya infrastruktur pangkalan angkatan udara dan angkatan laut tetapi juga keunggulan kualitas dan kuantitas mobilitas alutsista bergerak. Termasuk media interoperabilitynya. Pangkalan militer Natuna akan di back up Pontianak dan Tanjung Pinang. Ketiganya akan bersinergi aktif dan beraksi cepat terhadap segala sesuatu yang mengoyak teritori NKRI.
Jadi, percepatlah kedatangan sisa 17 jet tempur F16 blok 52 Id yang sudah lebih empat tahun tanda tangan kontraknya. Termasuk isian radar dan rudal 15 jet tempur Golden Eagle segera dimulai. Jangan sampai proyek bertele-tele lalu dibenturkan dengan anggaran atau prioritas lain. Mestinya 24 jet tempur F16 blok 52 Id itu sudah selesai pengirimannya akhir tahun lalu, kemudian diikuti dengan upgrade 10 jet tempur F16 blok 15 Ocu.
Jangan main-main soal Natuna, fokuslah kesana, tumpahkan perhatian kesana, bangun fasilitas militer yang modern, berkelas dan berkarakter Lebah. Jadikan Natuna sebagai sarang Lebah. Lebah tidak akan mengganggu tetapi kalau diganggu dia akan menyengat kesana kemari meski sarangnya dihancurkan. Dan kalau sampai Natuna dihancurkan maka perang terbuka telah dimulai. Apakah ada yang berani memulai perang terbuka ? (SMID Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar