Senin, 06 Juni 2016

Network Centric Warfare: Kemampuan Yang Selayaknya Hadir di Jet Tempur Terbaru TNI AU


Jakarta - Keriuhan dan debat seputar siapa jet tempur yang layak sebagai pengganti F-5 E/F Tiger II seolah tak ada habisnya. Harus diakui tema tersebut memang seru, mulai dari kaitan soal performa antar kontestan, sampai bergeser ke urusan politik. Namun dari sekian kriteria yang diinginkan pihak user (TNI AU), bahwa sang pesawat tempur yang baru nanti harus menjamin sisi interoperabilitas data dan komunikasi.
Ya, interoperabilitas (interoperability) bukan sebuah isu lagi, tapi sudah menjadi kebutuhan yang harus dilengkapi untuk pesawat tempur TNI AU generasi ke 4 atau 4,5. Maklum sedari awal, TNI memang menganut mahzad multi vendor, maka urusan interoperabiltas sudah menjadi keharusan dan sekaligus harapan di tingkat kodal (komando pengendalian) operasi. Dan karena sedari awal, pijakan standar komunikasi mengacu ke platform NATO, maka jadi pekerjaan plus biaya ekstra saat TNI mendatangkakan alutsista dari Rusia atau Cina.
Ambil contoh dalam proses negosiasi pengadaan Sukhoi Su-35BM Super Flanker, meski disebut-sebut proses nego masih terus berlanjut, terlihat kesepakatan jual beli tidak terlampau mulus. Indonesia disatu sisi dengan budget pertahahan yang ngepas, menuntut hadirnya Su-35 dengan asupan datalink yang bisa mendukung interoperabilitas dengan perangkat NATO. Ini mengingat tebaran radar Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional) semua menggunakan standar komunikasi NATO, plus mayoritas jet tempur TNI AU juga berstandar NATO. Tanpa datalink yang mendukung, maka Su-35 ibarat pendekar yang bermain tunggal dalam operasi udara. Komunikasinya hanya akan efektif antar Su-35 atau dengan jet tempur dari Skadron 11, Su-27/Su-30MK2.
Kebutuhan datalink yang support dengan komunikasi NATO untuk Su-35 tentu berimbas ke penambahan biaya pengadaan, plus juga lamanya pengerjaan (bila akhirnya kontrak jual beli terjadi). Terlepas dari interoperabilitas, sebenarnya Indonesia juga mengindamkan agar jet tempur baru nanti juga bisa dibekali fitur NCW (Network Centric Warfare). Selain itu, ada juga harapan agar jet tempur TNI AU nantinya mengadopsi jenis radar AESA (Active Electronically Scanned Array). Nah, lepas dari interoperabilitas, elemen NCW dan radar AESA lah yang menjadi minus poin dari Su-35BM. Minus poin bukan justifikasi dari kelemahan, melainkan kedua elemen yang disebut memang jamak dipakai oleh alutsista besutan AS dan Eropa Barat.
Network Centric Warfare
Jet-jet tempur terbaru dari AS dan Eropa Barat dilengkapi NCW (Network Centric Warfare) secara teori bisa-bisa saja. Namun dari dokumen media brief yang kami terima selama proses pengenalan masing-masing jet tempur di Indonesia, yakni Eurofighter Typhoon, Lockheed Martin F-16 Viper, dan Saab Gripen C/D E/F, nyatanya hanya Saab Gripen yang secara lugas dan mengonfirmasi keberadaan serta kemampuan NCW, baik di Gripen C/D dan Gripen NG (E) yang baru saja di roll out bulan lalu di Linköping, Swedia.
20160518-en-1150128-519293

communications_eng
Sebelum membedah NCW yang ada di jet Gripen, mungkin agar lebih jelas bisa diurai bahwa NCW berasal dari doktrin perang AS di era 90-an. NCW merupakan konsep siskodal (sistem komando dan pengendalian) operasi militer modern yang mengintegrasikan seluruh komponen atau elemen militer ke dalam satu jarngan komputer NCW yang berbasis satelit dan jarngan internet rahasia. Dengan payung NCW, maka berbagai komponen militer yang terlibat dalam operasi tempur dapat saling terhubung (get connected) secara online system dan real time, sehingga keberadaan lawan dan kawan dapat saling diketahui melalui visualisasi di layar komputer atau laptop.
Battlefield Management System
Sedikit berputar haluan, konsep mirip NCW sebenarnya sudah mulai diterapkan oleh kavaleri TNI AD, disebut Battlefield Management System (BMS), hasil pengembangan Dithubad TNI AD dengan mitra PT Hariff Daya Tunggal Engineering (DTE), perusahaan swasta nasional yang ber-homebase di Bandung, Jawa Barat. Ide utama BMS selain mencakup siskodal, juga untuk mencegah terjadinya friendly fire dalam operasi/latihan tempur. Kami telah membahas secara lengkap tentang Battlefield Management System di kavaleri TNI AD pada judul tautan dibawah ini.
NCW di Gripen
Kembali ke NCW di Gripen, kemampuan yang digadang yakni tentang segala aspek yang dilihat oleh pilot dapat dilihat langsung dan dimonitor oleh ground based (kodal), pesawat AEW&C (Airborne Early Warning and Control), sampai elemen-elemen tempur di darat dan laut. NCW mengaktifkan beragam sensor dan radar di Gripen, yang tak hanya didistribusikan ke pilot pada layar di dashboard, HUD (Head Up Display) dan HMD (Helmet Mounted Display). Namun informasi dari sensor/radar diteruskan ke dalam skenario tactical data link.
Pilot Gripen dari Afrika Selatan dengan Helmet Mounted Display.
Pilot Gripen dari Afrika Selatan dengan Helmet Mounted Display.
Mockup pada kokpit Gripen NG.
Mockup pada kokpit Gripen NG.
Karena yang diusung adalah NCW, skenario tactical data link disini sudah mencakup advanced data communications, dua data links, satellite communications, dan video links. Semisal kondisi saat ini, pilot fighter TNI AU sebatas bisa melaporkan kondisi di udara melalui radio (voice) ke kodal, maka dengan NCW dimungkinkan seorang pilot TNI AU juga dapat mendistribusikan poin-poin multimedia yang terpampang di dashboard, untuk langsung dilihat oleh Panglima Komando Operasi di ground based. Wujud distrubusi data mencakup pencitraan video surveillance, monitoring radar, sampai bekal persenjataan yang tersedia di pesawat dapat dipantau near real time dari ground based.
10616610_760500613991540_8969379937005913059_n
Sudah barang tentu simulasi diatas akan menguntungkan dari aspek situation awareness. Panglima Komando dapat lebih tepat dan bijaksana untuk memutuskan langkah-langkah apa yang harus diambil pilot dalam situasi di udara.
Nah, untuk menjamin terlaksananya gelar NCW secara optimal, elemen data link jelas membutuhkan high bandwitdth dan high security. Di jet Gripen, Saab setidaknya telah menyematkan teknologi Link 16, Link khusus koneksi ke pesawat AEW&C, dan link ke Forward Air Control. Link 16 adalah jaringan data link standar NATO. Berjalan di basis TDMA (Time Division Multiple Access) dan jam resistant dengan frekuensi hopping, Link 16 dapat mengahdirkan koneksi high speed lewat frekuensi radio di band 960 – 1.215 Mhz. Link 16 juga mendukung dua channel (kombinasi) digital voice di kecepatan 2,4 Kbps atau 16 Kbps). Link 16 juga sudah disematkan sebagai kelengkapan standar di F-16 C/D Block 52ID Skadron 16 TNI AU.
Peran Satelit
Dalam penerapan NCW khas AS yang kerap terlibat konflik, kebutuhan satelit untuk peran siskodal jelas amat diperlukan. Ditambah AS mempunya satelit komunikasi khusus militer dan pertahanan. Namun, tak melulu harus satelit yang dikedepankan. Sepanjang operasi pesawat masih bersifat LoS (Line of Sight) dimungkinkan untuk langsung melaksanakan NCW ke unit-unit terkait. Dalam proyeksinya, Saab mengendepankan peran AEW&C Erieye dan GlobalEye. Selain berperan sebagai control and command, pesawat tersebut dapat berfungsi sebagai wahana relay data.
Agak berbeda dengan BMS di kavaleri TNI AD, mereka lebih memanfaatkan kemampuan Broadband Wireless Access (BWA) dari basis WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access). Hingga kini gelaran NCW masih sebatas harapan di Indonesia, lantas bagaimana dengan negara tetangga? Dengan adopsi unsur AEW&C serta kombinasi jet tempur yang kompatibel dengan sistem data link, maka Australia, Singapura, dan Thailand dipercaya telah menggelar skenario NCW untuk peran pertahanan udara nasional. 
Sumber : SMID Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar