Jumat, 17 Juni 2016

Realistiskah Pesawat Intai Maritim Incaran Menteri Susi?


Jakarta - Salah satu program Presiden Jokowi adalah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, dan pilar kelima adalah soal kewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim. Kebijakan ini diterjemahkan dengan sangat baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah menteri Susi Pudjiastuti, yang dengan tegas telah membentuk satgas untuk menangkap pelaku dan meledakkan puluhan kapal-kapal yang melakukan illegal fishing.
Dalam perkembangannya, dihadapkan dengan tantangan luasnya wilayah perairan Indonesia, terbetik rencana KKP untuk membeli pesawat intai maritim, dalam hal ini salah satu kandidatnya adalah Boeing Maritime Surveillance Aircraft (MSA) yang telah beranjangsana ke Indonesia dan dicoba langsung oleh Menteri Susi dan Menko Rizal Ramli pada Maret 2016.

Mentri Susi saat melihat pesawat Boeing MSA di Lanud Halim PK. Sumber gambar: suara.com
Mentri Susi saat melihat pesawat Boeing MSA di Lanud Halim PK. Sumber gambar: suara.com

Sejumlah alasan dikemukakan, seperti biaya operasional yang jauh lebih murah dibanding kapal perang, dan luas wilayah cakupan yang tentu saja lebih unggul bila menggunakan pesawat. Rencananya, pesawat akan dibeli KKP dan dioperasikan oleh TNI. Menurut hitungan Menteri Susi, biaya operasional pesawat intai hanya 10% dari kapal perang, dan setahun bisa menghemat anggaran Rp 700 miliar. Oleh karena itu, beliau mengajukan anggaran Rp 900 miliar dalam APBN-P yang kemudian ternyata dikritisi oleh DPR.
Kehebatan MSA
Sebelum sampai pada kesimpulan, ada baiknya bila kita menyimak sehebat apa sih Boeing MSA? Boeing meracik MSA secara khusus untuk negara-negara yang membutuhkan pesawat intai maritim tanpa opsi untuk melancarkan perang antikapal selam ataupun permukaan, dengan biaya murah.
Untuk menciptakan platform MSA diinginkan, Boeing menggunakan pesawat bizjet Bombardier Challenger 604/605 yang kemudian dimodifikasi oleh perusahaan Field Aviation agar mampu membawa seabrek perangkat sensor. Kenapa memilih bizjet, jawabannya ada pada kemampuan dan durasi terbang. Bombardier 604/605 yang ditenagai mesin GE CF34-3B mampu terbang selama 8 jam tanpa henti, cukup untuk keliling Indonesia.

Tampilan kokpit Boeing MSA yang canggih. Sumber gambar: espritdecorps.ca
Tampilan kokpit Boeing MSA yang canggih. Sumber gambar: espritdecorps.ca

Untuk meyakinkan calon pembelinya, Boeing menyatakan bahwa 80% sistem avionik dan sensor pada MSA adalah sama (common) dengan pesawat intai maritim tercanggih AL AS, P-8 Poseidon. Daftarnya mulai dari Selex 7300 AESA multimode radar yang tertanam pada blister di perut MSA dan mampu mendeteksi sasaran berukuran kecil di permukaan seperti kapal nelayan.
Untuk identifikasi visual, MSA juga dilengkapi sensor elektro optik berupa bola FLIR 380 yang menggabungkan kamera siang, kamera termal, dan kamera malam untuk beroperasi dalam segala cuaca, dan semuanya distabilisasi untuk hasil tangkapan kamera yang ajek.
Apabila dibutuhkan sistem komunikasi yang aman, ada Argon ST COMINT yang menyediakan sistem komunikasi radio antisadap. Untuk mengenali kapal, MSA dibekali AIS (Automatic Identification System) untuk mengenali transponder yang dipasang pada kapal. Untuk komunikasi dengan kapal permukaan ada sistem datalink dan komunikasi satelit Immarsat. Untuk mengoperasikan seluruh sensor tersebut, selain 2 pilot ada 3 awak misi yang mengawasi tiap konsol dengan layar sentuh, dan dapat ditambah sampai 5 awak bila semua sensornya dibeli.
Dengan seabrek sensor dan avionik yang dimiliki, MSA memang punya banyak potensi, tidak hanya mengawasi illegal fishing tapi juga dapat digunakan untuk operasi SAR, patroli maritim, dan sebagainya. Namun pertanyaannya, jika selama ini kapal perang TNI AL, kapal patroli KKP, kapal Bea Cukai, dan pihak lain yang tergabung dalam satgas anti illegal fishingbisa langsung melakukan penindakan, bagaimana praktiknya bila menggunakan MSA?
MSA memang andal untuk mengenali kapal yang sah dan yang ilegal, namun tidak punya sarana penindakan. MSA jelas tidak mungkin mendarat di laut lepas, atau menerjunkan pasukan komando. Rudal atau torpedo MSA tidak punya. Walaupun MSA menemukan kapal terduga ilegal pun, belum tentu ada kapal kawan yang dapat melakukan penindakan di wilayah tersebut, dan ada kesempatan dimana kapal yang terpergok akan segera angkat sauh dan ambil langkah seribu sebelum dihadang oleh kapal satgas.
Persoalan kedua yang mengemuka, apabila hendak menggunakan pesawat seperti MSA, masih ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera, utamanya soal komunikasi. Idealnya, antara MSA dan kapal perang atau kapal satgas di bawah dapat berkomunikasi dengan sistem Datalink yang mampu mentransmisikan koordinat, foto, status, dan pesan seketika sehingga tidak perlu ada upaya lebih dan waktu yang terbuang hanya untuk menentukan dan menemukan koordinat sasaran yang ditemukan pesawat.
Mengambil pengalaman TNI AU dalam operasi gabungan maritim bersandi Oscar di tahun 1991-1992, informasi mengenai kapal yang terdeteksi saja harus dikonfirmasi ke LAPAN yang saat itu merupakan satu-satunya yang memiliki AIS, bolak-balik dan makan waktu. Tanpa datalink yang andal, lupakan mimpi patroli laut dengan pesawat intai maritim.
Untuk pesawat patroli maritim, mungkin baru CN235 MPA milik TNI AL yang dilengkapi sistem Datalink Link Y buatan Thales yang setara dengan Link 11 standar NATO untuk ‘berbicara’ dengan kapal, itupun terbatas pada sejumlah KRI baru yang menggunakan sistem serupa dari Perancis tersebut.
Apapun pesawat MSA yang dibeli kelak, interoperabilitas dengan pihak terkait harus dipastikan jalan. Padahal, anggota satgas tidak hanya dari kapal TNI AL. Untuk kapal dari instansi lain sudah pasti harus melakukan retrofit untuk memasang sistem datalink kompatibel, dan artinya akan ada biaya lagi yang harus dikeluarkan.
Sepadankah dengan penghematan yang terjadi bila MSA dibeli? Itu yang harus dihitung dengan cermat. Meski mungkin jika bicara jangka panjang, akan sangat kondusif. (SMID Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar