Selasa, 05 Juli 2016

“Menghadapi” Cina dengan Senjata Buatan Cina


Jakarta - Pemerintah Cina memang dengan tegas mengakui Kepulauan Natuna sebagai bagian dari wilayah NKRI, tapi lain hal dengan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Perairan Natuna. ZEE RI yang berada bersinggungan dengan Laut Cina Selatan itu sebagian areanya dianggap sebagai traditional fishing zone oleh Cina, padahal dalam hukum laut internasional tak dikenal istilah traditional fishing zone. Klaim sepihak dari Cina ini beberapa kali menjadi sumber ketegangan hubungan diplomatik antara Jakarta dan Beijing.
Hadirnya armada kapal Penjaga Pantai Cina (China Coast Guard/CCG) yang terkesan melindungi upayaillegal fishing nelayan Cina kian menambah kisruh situasi yang terjadi di lautan. Dalam tahun ini, sudah tiga kali peristiwa ‘besar’ yang terkait penegakan hukum dilakukan aparat Indonesia. Peristiwa terakhir pada 17 Juni, dimana terjadi kejar-kejaran antara kapal perang Indonesia dengan kapal nelayan Cina, plus keterlibatan kapal CCG menghalagi kapal perang RI, hal tersebut menjadi poin titik balik bagi kesiapan TNI sebagai garda terdepan pelindung NKRI.
Haijing 3303 nampak memotong arah KRI Imam Bonjol 383.
Haijing 3303 nampak memotong arah KRI Imam Bonjol 383.
Manuver KRI Todak 631 dengan latar Haijing 3303.
Manuver KRI Todak 631 dengan latar Haijing 3303.
Lanud Ranai di Pulau Natuna yang didapuk sebagai pangkalan aju, telah diperpenjang landasannya, shelter jet tempur juga sudah dibangun. Sehingga tak hanya pesawat tempur taktis Hawk 209 dan Super Tucano yang bisa mendarat mulus, saat ini satu flight F-16 Fighting Falcon TNI AU juga siap lepas landas dan mendarat dari Lanud Ranai. Begitu juga dengan perkuatan pada baterai pertahanan udara (hanud) yang ada di Natuna.
F-16 Fighting Falcon TNI AU di Lanud Ranai (Foto: Angkasa.co.id)
F-16 Fighting Falcon TNI AU di Lanud Ranai (Foto: Angkasa.co.id)
Lepas dari itu, ada momen menarik yang layak dicermati dari insiden 17 Juni. Seperti telah dikupas pada artikel terdahulu, Komando Armabar TNI AL telah mengutus kehadiran gugus tempur terpadu ke Natuna dalam kaitan patroli sekaligus latihan di Laut Natuna dan Laut Cina Selatan. Dalam latihan yang digelar selama 12 hari, yakni dari 9 – 20 Juni 2016, TNI AL mengerahkan KRI Sultan Thaha Syaifuddin 376, KRI Sutanto 377, KRI Imam Bonjol 383, dan KRI Teuku Umar 385, keempatnya adalah jenis korvet Parchim Class buatan Jerman Timur.
Selain itu satuan tempur laut juga diperkuat satu unit KCR (Kapal Cepat Rudal) KRI Todak 631. Dan menunjang operasi di lautan lepas, turut bergabung kapal tanker KRI Balikpapan 901. Tidak ketinggalan sebagai unsur intai dari udara disertakan pula satu unit CN-235 220 MPA (Maritim Patrol Aircraft) dari Puspenerbal.
Bila ditelaah, umumnya tingkat kesiapan senjata pada kapal korvet Parchim tidak maksimal, banyak senjata (kanon) yang dalam kondisi rusak, torpedo yang tidak berfungsi sejak pertama kali datang dari Jerman Timur, dan sonar yang tidak berfungsi. Ini menjadikan tingkat kesiapan tempur pada Parchim Class terbilang rendah. Namun diantara keempat Parchim Class, KRI Sultan Thaha Syaifuddin 376 bisa disebut menjadi yang terdepan untuk urusan senjata. Pasalnya korvet ini yang sudah mendapat upgrade senjata pada sisi haluan, yakni dengan mengganti kanon AK-230 dengan kanon CIWS (Close In Weapon System) Type 730 buatan Norinco, Cina.
4530811792_49675309cf_b
Sementara kehadiran rudal anti kapal diwakili pada sosok KRI Todak 631, kapal jenis FPB-57 Nav V ini menggotong dua rudal anti kapal C-705 buatan China Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC). Meski Cina tak nampak berniat untuk mengerahkan kapal angkatan lautnya ke Perairan Natuna, menjadi menarik perhatian penulis adalah penggunaan senjata andalan buatan Cina untuk menghadapi Cina.
Tentu kita tidak berharap meletus konflik terbuka, tapi bila toh akhirnya terjadi, rasanya perlu jadi perhatian bersama bahwa lumayan banyak alutsista TNI yang merupakan produksi Cina. Bahkan beberapa proyek pengadaan alutsista berstatus baru kini tengah dalam proses pembahasan untuk bisa dioperasikan oleh TNI. Karena bersifat alutsista andalan, bukan tak mungkin bila muncul letupan konflik, maka senjata asal Cina yang digunakan TNI yang akan dimajukan untuk menghadapi kekuatan Cina yang Adidaya di Asia Pasifik.
Dan berikut kami sarikan, beberapa alutsista produksi Cina yang digunakan oleh ketiga matra TNI, sebagian masih berstatus dipertimbangkan untuk diakuisisi. Untuk melihat detail tiap alutsista, pembaca yang budiman bisa langsung meng klik tautan pada identitas senjata.
Nego Keras di Proyek Rudal Anti Kapal Nasional
Diantara beragam alutsista TNI asal Cina, bisa disebut rudal anti kapal C-705 yang paling banyak mendapat sorotan. Ini tak lain terkait rencana pembangunan produksi rudal C-705 di Indonesia oleh PT Dirgantara Indonesia. Pembangunan produksi rudal C-705 ini didasari atas ToT (Transfer of Technology) yang didapat oleh Indonesia jika melakukan pembelian C-705 dalam jumlah yang disepakati.
c70504
Sampai saat ini proyek C-705 disebut-sebut masih terus berjalan, komunikasi antara pihak Kemhan dan SASTIND (State Administration for Science, Technology and Industry for National Defense) Cina terjalin cukup intens untuk level G to G (Government to Government), sementara untuk level Business to Business yang melibatkan kepentingan dan kebutuhan industri pelaksana, masih terdapat poin yang belum disepakati. Seperti misalnya Cina meminta Indonesia untuk membeli 100 unit C-705 dalam lima tahun agar ToT dapat diberikan. Sementara disatu sisi, daya serap (belanja rudal) TNI AL tidak akan mampu sebanyak itu.
Dengan jangkauan 75 Km, C-705 masuk dalam kategori rudal jelajah anti kapal
Dengan jangkauan 75 Km, C-705 masuk dalam kategori rudal jelajah anti kapal
Jangkauan C-705 dapat ditingkatkan dengan roket booster
Jangkauan C-705 dapat ditingkatkan dengan roket booster
Di lain pihak, PT DI mendorong pihak Cina untuk bisa memberikan ToT dengan tawaran Indonesia ‘hanya’ membeli 50 unit rudal C-705. Selain itu PT DI juga berharap mendapatkan lisensi atas produksi C-705, sehingga dikemudian hari PT DI dapat melakukan ekspor rudal ini. Terkait permintaan lisensi dan ekspor C-705 dari pihak Indonesia, plus pembelian yang ditekan menjadi 50 unit, kini masih dalam pengkajian oleh pihak Cina. Mereka masih harus berhitung keras atas tawaran ‘ketat’ dari Indonesia. Perlu dicatat, jika proses produksi bisa mulai dijalankan, maka 20 unit rudal pertama masih dibuat di Cina, fasilitas di PT DI hanya digunakan sebagai lini perakitan. Nah, setelah rudal ke-20 tiba, baru PT DI dapat mulai memasukkan elemen TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri).
20101118@15491-oke
Hingga saat ini, TNI AL telah membeli enam unit rudal C-705 yang dipasang pada KCR (Kapal Cepat Rudal), sementara 50 unit yang disebutkan diatas tentu diluar enam unit yang sudah dibeli Indonesia. Indonesia sendiri kepincut dengan rudal C-705 dengan alasan nilai ToT yang diberikan, hanya Cina yang berani memberikan ToT penuh untuk rudal anti kapal, produsen rudal lain dari Eropa Barat kebanyakan masih sebatas memberi ToT pada teknologi propelan (tenaga pendorong) rudal.
Bagaimana kelanjutan negosiasi keras ini, apakah Indonesia yang terkenal jago ‘menawar’ mampu meloloskan proses negosiasi ini? Kita tunggu saja update selanjutnya, yang terpenting pemerintah harus dapat menjamin bahwa rudal yang diakuisisi dan dibangun mempunyai kualitas yang maksimal, serta mampu menghindari upaya embargo jika kelak terjadi konfrontasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar